Kamu siapa?… Kamu siapa?… Aku siapa?…
Begitulah kira-kira sepetik lirik yang ada pada lagu bertajuk Aku Kamu yang dipopulerkan oleh musisi nyentrik bernama Mawang yang agaknya sering dijumpai di berbagai laman sosial media. Lagu tersebut populer berkat liriknya yang unik nan menggelitik berkat umpatan pertanyaan yang dapat dikatakan nyeleneh apalagi untuk dijadikan sebuah lirik lagu. Pertanyaan kamu siapa dan aku siapa memang terdengar seperti sebuah lelucon yang seakan-akan menggambarkan seorang penanya yang “gila” bukan karena tidak tahu siapa sosok yang ditanya tetapi karena ketidaktahuannya akan dirinya sendiri. Akan tetapi, pernah kah kita melemparkan pertanyaan siapa aku pada diri sendiri? Sudah kah kita yakin tentang siapa diri kita yang sebenarnya? Atau kah kita hanya berpura-pura mengenali diri kita hanya karena kita takut dianggap gila?
Berbicara mengenai siapa aku, maka kita berbicara mengenai eksistensi kita. Kita ini apa sih? Kita ini eksis sebagai apa? Mungkin kita akan dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut dengan mengungkapkan profesi yang sedang kita jalani misalnya saya adalah seorang ustad. Atau kita akan mengaitkannya pada usia dan harapan kita serperti saya adalah seorang pemuda yang akan meningkatkan derajat orang tua saya. Atau lebih sederhananya lagi, dengan mengungkapkan identitas kita secara detail baik nama, umur, pekerjaan, tempat tinggal, hingga nama akun instagram kita. Tapi apakah kita yakin bahwa apa yang kita deskripsikan mengenai diri kita adalah sebenar benarnya kita? Atau jangan-jangan apa yang kita sebut hanyalah konstruk belaka yang tidak mencerminkan sedikit pun tentang siapa diri kita yang sebenarnya?
Sebagai makhluk yang sadar akan keberadaannya didunia ini, kita diberkahi atas kemampuan kita untuk memahami dunia sekitar dan memberikan makna padanya. Aku melihat hamparan air asin dan berwarna biru dengan berbagai jenis ikan didalamnya, maka ku maknai ia sebagai sebuah lautan. Begitulah kira-kira cara kita memaknai dunia. Dengan demikian, berarti dunia ini tidak ada artinya dong? “Betul dinda…. kita ji kasih nama itu barang-barang’a.” Begitulah yang disampaikan oleh seorang kawan yang menyebut dirinya sebagai brainless man. Termasuk diri kita sendiri, kita lah yang memberi makna pada diri kita bahwa “saya ini dulu dek….” pungkas seorang senior di sekretariat pada dini hari sebelum adzan subuh.
Dengan demikian, kita tidak dikutuk untuk menjadi sosok tertentu, kita memiliki kebebasan untuk memilih kita ingin menjadi seperti apa sesuai dengan keinginan kita, freedom lies on us. Kita punya kebebasan untuk memilih esensi yang kita inginkan sebab esensi tersebut lahir dari eksistensi yang kita upayakan. “Eksistensi mendahului esensi.” Begitulah yang disampaikan oleh seorang filsuf asal Prancis bernama Jean Paul Sartre. Jikalau aku ingin menjadi seorang pilot, maka aku harus eksis sebagai seorang individu yang mengendarai pesawat terbang. Perlu ada aksi yang dilakukan untuk mendapatkan inti dari aksi tersebut.
Selayaknya seorang pilot, kita memegang kendali atas siapa diri kita sebenarnya tanpa ada keharusan untuk menuruti permintaan orang lain untuk menjadi seperti yang mereka inginkan. Meskipun terkadang kita tidak sadar bahwa kita eksis tidak sebagaiamana apa yang kita inginkan. Kita seakan dihipnotis oleh lingkungan disekitar kita bahwa kita ini demikian dan harus berperilaku demikian. Inilah yang menjadi keresahan Sartre akan masyarakat yang tidak mengakui kebebasannya untuk menjadi dirinya sendiri. Orang-orang kebanyakan takut untuk menjadi berbeda dari yang lain, kemudian muncul istilah fear of missing out (FOMO) yang menggambarkan ketakutan seseorang untuk ketinggalan tren terkini. “Mau ka punya aerox deh, masa na kalah ka teman-teman ku.” Sambat seorang pemuda yang berencana menendang pintu rumah orang tuanya.
Sartre menyebut orang-orang seperti pemuda tersebut sebagai inauthentic, pemuja tren, takut untuk menjadi dirinya sendiri. Mereka rela mengorbankan jati dirinya demi mengikuti hasrat orang lain. Isi pikiran mereka dipenuhi oleh pikiran orang lain ketimbang pikiran yang murni atas dirinya sendiri, namun sayangnya ia terlalu takut untuk terlihat berbeda. Dengan demikian, mari kita renungkan sejenak apakah kita sudah benar-benar menjadi diri kita? Apakah kita pergi sekolah karena kita mau menjadi seseorang yang terdidik atau takut dimarahi orang tua dan dianggap “nakal” oleh lingkungan sekitar? Apakah kita mau jadi polisi karena mau mengabdikan diri pada masyarakat atau supaya semua mata tetangga dan keluarga terbelalak pada kita?
Sayang seribu sayang, menentukan esensi diri kita sesuai dengan apa yang kita inginkan tak semudah mengatakan aku mencintai mu dengan sepenuh hati. Budaya dan konstruk yang berkembang di masyarakat begitu kuat sehingga mau tak mau kita menelan pahitnya kenyataan bahwa kita tidak bisa menentukan pilihan sebebas-bebasnya. Kita akan dianggap gila, pembangkang, bahkan seorang kriminal apabila kita melangkahi batas-batas halus yang membentang diberbagai sudut ruang peradaban. “Hell is other man.” Begitu lah Sartre menyebut orang lain sebagai pihak yang selalu berusaha mengotak-ngotakkan seseorang bahwa dia begini dan dia begitu. Lantas, apakah hidup ini begitu suram karena aku tidak mampu menjadi aku? Selagi determinasi sosio historis yang berlaku hanyalah sebuah konstruk yang tidak tetap dan tidak permanen, masih ada kesempatan bagi kita untuk merebut kebebasan dengan membebaskan orang lain dari kungkungan determinasi sosial tersebut.
Leave a Reply