Talkshow: Gen Z dan Perubahan Iklim.
Pada hari kamis, 3 oktober 2024 kami menghadiri sebuah forum yang dipelopori oleh UKM RITMA UINAM dan diselenggarakan secara kolaboratif bersama dengan MAPALASTA UINAM dan Greenpeace Indonesia serta turut mengundang Walhi Sul-Sel dan Cita Tanah Mahardika sebagai narasumber. Forum yang diadakan di Gedung Rektorat lantai 4 UIN Alauddin Makassar ini mengusung tema pembahasan “Bagaimana Transisi Energi Mempengaruhi Kehidupan Kita” dan menyorot Pemberian izin terhadap pelaku usaha tambang yang ada di wilayah Sulawesi seperti Kabupaten Bantaeng dan Morowali Utara untuk membangun pembangkit listriknya sendiri yang disebut sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive.
Diskusi pada forum ini diawali oleh kepala divisi energi Walhi Sul-Sel yang memberikan penjelasan singkat terkait apa yang dimaksud dengan PLTU Captive yakni sebuah pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara sebagai sumber energi untuk mencukupi kebutuhan energi listrik di kawasan tambang, utamanya kebutuhan dalam memproses hasil tambang yang sangat membutuhkan pasokan energi yang cukup dan stabil guna mendapatkan hasil pemrosesan yang diharapkan. Adapun PLTU Captive ini tidak dikelola oleh PLN melainkan oleh perusahaan yang memperoleh izin pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tersebut. yang kemudian menjadi persoalan dari PLTU ini adalah potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dengan adanya aktivitas pembakaran batubara yang menimbulkan polusi udara serta limbah yang mencemari perairan di kawasan PLTU tersebut. Hal tersebut kemudian semakin menyorot citra negatif yang ada pada pertambangan bahwa dampak kerusakan alam yang ditimbulkan bukan hanya ada pada proses pertambangan itu sendiri dan distribusinya tetapi juga ada pada pembangkit listrik yang menunjang proses pertambangan dan pengolahan hasil tambang.
Selain menambah dampak negatif terhadap lingkungan, adanya PLTU tersebut juga tentu menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat di sekitar lokasi pembangkit listrik sebagaimana dijelaskan oleh narasumber kedua yang merupakan dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UINAM. Beliau menjelaskan bahwa zat PM 2.5 yang dihasilkan oleh aktivitas industri pertambangan memiliki ukuran yang sangat kecil bahkan jauh lebih kecil dari selehai rambut, yang tentu membuatnya dapat dengan mudah masuk kedalam sistem pernafasan. Tri Gunawan Musa selaku Ketua Umum UKM RITMA UINAM periode 2024 yang juga aktif dalam melakukan penelitian terkait dampak pertambangan dan pengolahan nikel menjelaskan bahwa Particulate Matter berukuran micrometer 2.5 atau disingkat PM 2.5 bukan hanya satu-satunya partikel berbahaya yang dapat dihembuskan oleh aktivitas pengolahan tetapi juga terdapat partikel murni lainnya yang berukuran lebih kecil yakni PM 1 yang memiliki ukuran dibawah 1 micron.
Maka dari itu, transisi ke energi terbarukan merupakan sebuah upaya yang harus disegerakan sehingga selain dapat meminimalisir dampak buruk yang ditimbulkan oleh energi batubara, upaya transisi ke energi terbarukan menjadi aksi nyata dalam menghadapi isu perubahan iklim. Transisi tersebut tentunya dapat diwujudkan melalui pembangunan atau instalasi pembangkit listrik ramah lingkungan yang tidak menyebabkan polusi udara selayaknya pembangkit listrik bertenaga batubara. Hal tersebut ditekankan oleh perwakilan dari Greenpeace Indonesia yang menjadi salah satu narasumber pada forum ini bahwa polusi udara yang ditimbulkan oleh adanya PLTU bukan hanya menyasar kawasan disekitar PLTU tetapi juga mampu menjangkau bahkan hingga ratusan kilometer dari pembangkit listrik. Sebagaimana fenomena yang sempat menggegerkan masyarakat Jakarta bahwa polusi udara di Jakarta ternyata bukan hanya berasal dari banyaknya kendaraan tetapi juga berasal dari PLTU yang berada di wilayah Jabodetabek.
Agar transisi energi mampu diwujudkan, tentu diperlukan adanya keseriusan pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut melalui kebijakan yang dapat menjadi insentif bagi segenap pihak untuk beralih ke energi yang lebih bersih dan juga mampu menjadi efek jera terhadap penggunaan energi non-terbarukan. namun sayangnya, sebagaimana pengkajian yang ditelah dilakukan oleh narasumber ke-empat yang merupakan Direktur Cita Tanah Mahardika sekaligus seorang dosen Antropologi, mengenai pola kebijakan energi sejak masa Hindia Belanda melalui Indische Mining Law hingga kebijakan yang berlaku hingga saat ini yakni UU Cilaka atau Cipta Kerja. Beliau menyampaikan bahwa pola kebijakan energi yang berlaku di Indonesia utamanya sejak orde baru hingga saat ini merupakan kebijakan yang bersifat neo-liberal yang lebih mengutamakan peran privat dalam mengelola sumber daya alam, sementara pemerintah hanya bersifat sebagai mediator atau fasilitator bagi pihak privat dalam mengupayakan kepentingannya.
Keberadaan PLTU Captive dan praktik industri pertambangan yang tidak serius dalam menganalisis dampak lingkungan tentu bukanlah tanpa alasan. Penggunaan batubara sebagai sumber energi tentu memiliki kelebihan dari segi biaya-nya yang jauh lebih murah dan pasokan energi yang stabil apabila dibandingkan dengan energi terbarukan seperti tenaga surya atau bayu. Meminimalisir biaya demi mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin juga agaknya menjadi alasan mengapa praktik industri pertambangan utamanya di wilayah Sulawesi tidak serius dalam mengelola dampak buruk yang timbulkan baik terhadap lingkungan maupun masyarakat di sekitar lokasi tambang. Tidak lain dan tidak bukan lagi-lagi adalah aspek ekonomis yang menjadi pertimbangan utama ketimbang aspek keberlanjutan. Akan tetapi, tidak ada kesempatan bagi Indonesia dan berbagai negara lainnya untuk memilih antara keuntungan ekonomi atau keberlanjutan apabila ingin mewujudkan visi net zero di tahun 2050. “Perekonomian dan keberlanjutan seharusnya merupakan dua hal yang perlu upayakan secara bersamaan sehingga aktivitas perekonomian mampu membawa dampak positif secara berkepanjangan serta turut meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan” ujar Tri Gunawan Musa.
Leave a Reply