Viral!!! Guru tak berani tegur murid yang menyontek, bolos, hingga membully temannya. Penjelasan berikut bikin geleng-geleng kepala!

Baru baru ini terdapat video viral mengenai fenomena dimana guru tidak lagi memiliki keberanian untuk memberikan teguran kepada siswa/siswi yang melakukan tindakan tidak terpuji di lingkungan sekolah seperti tindakan berkelahi, menyontek, membolos, perundungan, hingga tindakan lainnya yang berlawanan dengan nilai-nilai pendidikan. Bukan tanpa alasan, rasa takut yang dirasakan oleh guru-guru sekolah baik sekolah dasar maupun menengah disebabkan oleh banyaknya kasus mengenai guru yang dipolisikan atau bahkan sampai dipenjara sebagai akibat dari tindakan peneguran yang dilakukan terhadap muridnya. Salah satu kasus yang baru baru ini terjadi adalah seorang guru sekolah dasar di Konawe Selatan bernama Supriyani yang diduga melakukan tindak penganiyayaan terhadap muridnya berdasarkan luka lebam yang terdapat pada tubuh sang murid. Kasus yang dilaporkan pada bulan april tahun ini hingga saat ini kabarnya belum menemui titik terang, selain dikarenakan kurangnya bukti, terdapat dugaan bahwa terjadi pelanggaran kode etik dimana sang pelapor yakni orang tua murid yang diduga dianiyaya merupakan anggota kepolisian dan melaporkan kasusnya di kantor tempatnya bekerja. Meskipun proses persidangan masih berjalan dan baru memasuki fase pemeriksaan para saksi, pihak kejaksaan negeri Konawe Selatan telah memutuskan untuk menahan sang guru yang kemudian menimbulkan kontroversi atas urgensi penahanan tersebut.
Sebagai akibat dari kasus tersebut dan kasus serupa lainnya, timbul keresahan dari para guru mengenai perlindungan hukum bagi guru ketika diperhadapkan pada kasus serupa. Selain mempertanyakan perlindungan hukum, rasa takut untuk melakukan tindakan pendisiplinan terhadap murid juga mulai disampaikan oleh para guru, termasuk melalui video yang diunggah oleh akun instagram @alwimhe_ yang merupakan seorang guru SD yang juga aktif dalam membuat konten seputar belajar mengajar. Terdapat juga video yang diunggah oleh seorang guru di Lamongan yang menyampaikan keresahan yang sama dimana dirinya enggan untuk menegur siswanya yang tidur dan ngobrol di kelas karena takut akan dilaporkan ke pihak kepolisian. Lantas, apabila seorang guru merasa takut untuk menegur murid yang melanggar aturan sekolah atau melakukan tindakan yang tidak mencerminkan identitas sebagai seorang pelajar, maka pihak mana lagi yang diharapkan dapat menjalankan tanggung jawab tersebut?
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” begitulah bunyi semboyan pendidikan kita yang menekankan peran guru untuk menjadi sang teladan ketika didepan, menyemangati ketika ditengah, dan mendorong ketika dibelakang. Dari kalimat tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa seorang guru merupakan individu yang dituntut untuk memberikan pengajaran yang baik terhadap murid-muridnya, berperasaan terhadap murid yang diajarnya, dan juga perlu mengarahkan siswa/i-nya agar menuju ke jalan yang benar yakni untuk menjadi individu yang berpendidikan. Maka dari itu, sudah menjadi tanggung jawab seorang guru untuk memberikan peneguran atau pendisiplinan kepada murid yang terbukti melakukan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan sebagai seorang pelajar seperti berkelahi, melakukan perundungan, menyontek, bolos sekolah, dan tindakan lainnya yang mencemarkan nama baiknya maupun sekolah. Rasa takut yang dialami guru untuk menjalankan tanggung jawabnya adalah wajar, mengingat guru merupakan seorang manusia yang tak terhindar dari bias dalam berpikir dimana sang guru yang melihat kasus-kasus guru dipolisikan kemudian menyimpulkan bahwa apabila ia menegur, maka ia akan dilaporkan ke polisi. Padahal, persoalan dilaporkan atau tidak itu bukanlah persoalan yang perlu dipikirkan oleh sang guru, melainkan yang harus dipikirkan adalah apakah tindakan peneguran yang dilakukan masih berperikemanusiaan, tidak melanggar etika, bukan merupakan tindak kriminal, dan yang terpenting masih mencerminkan identitas seorang guru itu sendiri sebagai sang teladan, berperasaan, dan mengarahkan kepada hal-hal yang benar.
Memberikan peneguran kepada murid dalam konteks yang diperlukan merupakan sebuah keharusan bagi seorang guru mengingat saat di sekolah, guru merupakan perwakilan dari orang tua yang menitipkan anak-anaknya dengan harapan anaknya dapat didik sebaik mungkin sehingga menjadi seseorang yang terpelajar. Dalam mewujudkan ekspektasi tersebut tentu guru harus berani mengambil tindakan sebagai seseorang yang dituakan di lingkungan sekolah yang menanggung beban sebagai pendidik dan bertanggung jawab atas perilaku siswa/i di sekolah. Akan tetapi, pendidikan sebenarnya bukan hanya terbatas di lingkungan sekolah saja. Secara informal, pendidikan merupakan aktivitas belajar mengajar yang tak mengenal waktu maupun ruang yang karenanya seorang guru sebagai pihak yang menjalankan nilai-nilai tut wuri handayani yakni mengajarkan, memahami, dan mengarahkan juga tidak terbatas pada mereka yang berprofesi sebagai seorang guru.
Jika ditelisik secara mendalam, tindakan yang dilakukan oleh siswa/i seperti perundungan, berkelahi, menyontek, hingga lari dari tanggung jawab sebagai murid untuk hadir di kelas ketika jam pelajaran sedang berlangsung tentunya bukan lah hal yang diajarkan oleh guru di sekolah. Perilaku-perilaku melenceng tersebut agaknya juga bukan perilaku yang terbentuk dalam satu semester tanpa adanya andil pengalaman yang dialami oleh sang murid sejak masa pertumbuhannya serta tanpa adanya campur tangan pengetahuan yang didapatkannya di luar pagar besi sekolah. Seorang individu dapat melakukan suatu tindakan tentu atas dasar pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan-pengetahuan tersebut tentunya bukan hanya datang dari ruang kelas tetapi ruang-ruang sosial lainnya yang melibatkan berbagai macam aktor mulai dari ayah, ibu, kakak, kakek, nenek, rekan sejawat, pak RT/RW, content creator, abang-abang jual kelomang, anak kampung sebelah, dan sebagainya yang memberikan informasi, memperhatikan, dan memberikan pengarahan kepada seorang anak. Lantas, yang memegang tanggung jawab atas pengetahuan yang dimiliki oleh seorang anak bukan hanya seorang guru yang berada di sekolah, tetapi juga “guru-guru lain” yang berinteraksi dengan anak tersebut.
“Engkau patriot pahlawan bangsa…. Tanpa tanda jasa” penggalan lirik dari hymne guru tersebut menyiratkan bahwa guru merupakan pahlawan namun tanpa adanya tanda jasa. Ia diibaratkan pahlawan sebagai seseorang yang telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi kebaikan bersama namun tanpa adanya pengakuan atas kontribusi yang telah diberikan. Benarkah demikian? Apa kabar dengan SK guru? Gaji dan tunjangan? Sertifikat apresiasi? Guru SD saya pernah bercerita bahwa dirinya pernah mendapatkan lencana penghargaan dari pemerintah atas jasanya telah mengabdi di bidang pendidikan. Lantas siapa sebenarnya sosok pahlawan yang tidak memiliki tanda atau simbol bahwa dirinya telah memberikan kontribusi terhadap pendidikan bagi generasi penerus bangsa? Ialah mereka yang tidak berprofesi sebagai tenaga pendidik namun berkenan dalam memberikan teladan atas pengetahuan yang dipahami, memberdayakan individu lain atas sumber daya yang dimiliki, dan mengingatkan orang lain ke jalan yang benar tanpa adanya pengakuan eksplisit bahwa dirinya telah menjalankan tanggung jawab seorang guru meski tanpa menggunakan silabus dan berbalut pakaian dinas PGRI.
Tanggung jawab untuk memberikan peneguran kepada murid yang dinilai melenceng dari pendidikan seharusnya bukan hanya dibebankan pada seseorang yang berprofesi sebagai guru saja, melainkan masyarakat yang berinteraksi dengan sang individu juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk memberikan teladan yang baik, memperhatikan kondisi yang dialami, dan memberikan pengarahan kepada individu tersebut untuk berpikir dan bertindak secara benar. Disaat terjadi kasus dimana seorang guru diduga melakukan penganiayaan dalam menegur murid, masyarakat seharusnya bukan hanya fokus pada aksi mempolisikan guru atau bentuk tindak kejahatan yang dilakukan, tetapi juga diperlukan adanya refleksi dari setiap pihak yang terlibat atas peran yang telah dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sang murid atas tindakan yang memicu sang guru untuk mengambil tindakan pendisiplinan. Ketika guru menegur sang murid sebagai bagian dari tanggung jawabnya, sudah kah institusi terdekat yakni keluarga dari sang murid menjalankan perannya dalam mendidik sang anak? Apakah lingkungan dimana anak tersebut tumbuh membentuknya menjadi individu yang terdidik? Apakah informasi yang didapatkan oleh sang anak melalui media digital merupakan informasi yang kaya akan nilai-nilai ilmu pengetahuan?
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa di lingkungan sekolah, tidak ada pihak lain yang diharapkan dapat memberikan pengajaran kepada seorang anak selain dari pada guru itu sendiri sebagai pihak yang berkewenangan dalam mengambil peran sebagai pengajar di lingkup sekolah. Akan tetapi, patut disadari bahwa perilaku dan pola pemikiran yang ada pada seorang murid bukan hanya dipengaruhi oleh pendidikan di ruang kelas melainkan juga dipengaruhi oleh pendidikan yang ia dapatkan di luar sekolah. Sehingga, yang perlu dipermasalahkan ketika terjadi kasus dugaan penganiayaan guru terhadap murid, bukan hanya bentuk teguran yang diberikan oleh guru saja yang perlu dipertanyakan, akan tetapi teguran lingkungan sekitar sebagai pembentuk karakter sang anak juga perlu dipertanggung jawabkan, apakah lingkungan sekitarnya telah memberikan contoh-contoh yang baik, memperhatikan kondisi yang dialami sang anak, atau malah membiarkan bahkan hingga mengarahkan anak tersebut untuk menjadi gengster.
Leave a Reply