Blindness by José Saramago
Novel ini tidak seperti novel pada umumnya. Jika umumnya novel ditulis dengan gaya penulisan yang elegan nan rapih, gaya kepenulisan dalam novel ini sangatlah kacau untuk menggugah selera pembaca yang sedang berupaya merangkai skenario-skenario yang sedang diceritakan. Mulai dari paragraf yang melampaui satu halaman, tidak ada penanda siapa karakter yang sedang berbicara, hingga pemisah antara dialog dengan teks penjelasan yang hanya menggunakan tanda koma. Orang-orang dan sang penulis menyebut gaya kepenulisan tersebut sebagai gaya kepenulisan eksperimentalis, alias persetan dengan aturan-aturan kepenulisan yang berlaku atau budaya kepenulisan yang berkembang. Tidak ada bab, tidak ada penjelasan latar tempat, waktu, bahkan penjalasan singkat tentang identitas setiap karakter dalam novel ini pun tak ada. Setiap karakter hanya disematkan ciri khas atau profesi yang dijalani, seperti the man with the black eye patch, the first blind man, doctor, doctor’s wife, dan the boy with the squint.
emotionally detached tapi ya… boleh lah. Begitulah yang saya rasakan ketika menyeleisaikan buku ini. Meskipun gaya kepenulisannya sangat cantik untuk membuat mata pembaca pusing, sang penulis sepertinya tidak gagal dalam memproyeksikan imajinya ke pembaca. Jalan ceritanya runut, tidak membosankan, dan yang paling saya suka tapi sekaligus tidak suka adalah ia bercerita dengan sangat detail. Betapa detilnya cerita yang didiskursuskan bagi saya sangat memanjakan imajinasi pembaca. Akan tetapi, disaat yang sama, detailnya cerita yang disampaikan juga tidak cocok bagi saya yang mudah mual. Bayangkan apabila ada skenario yang menceritakan aktivitas kamar mandi namun diceritakan bahkan hingga ke kuning-kuningnya, warna ember yang saya maksud.
Any way, here’s the shortest way that I can tell. Sorry if I spoiled it too much! Bercerita tentang sebuah kota yang dilanda pandemi, tapi bukan pandemi covid-19, melainkan pandemi kebutaan. Cerita dimulai ketika seorang pengendara mobil tiba-tiba mengalami kebutaan saat berhenti di lampu merah, ketika lampu berubah menjadi hijau, pengendara yang bernasib malang tersebut tidak bisa melanjutkan perjalannya sehingga sontak menarik perhatian pengendara lain dan pejalan kaki yang berada di persimpangan jalan tersebut. Ketika diketahui bahwa sang pengemudi mengalami kebutaan, salah satu dari pejalan kaki yang menghampirinya kemudian menawarkan untuk mengantar si pengendara pulang. Namun sangat disayangkan, setelah mengantar pengendara buta tersebut sampai dirumah, mobilnya justru dibawa lari oleh orang yang mengantarnya pulang. Tak lama setelah melarikan diri munuju countryside, sang pencuri tersebut kemudian dikejutkan dengan kebutaan yang tiba-tiba menjangkitinya. Beruntung, ada seorang polisi yang tiba-tiba menghampirinya dan kemudian mengantarnya pulang. Naas, polisi tersebut juga turut mengalami kebutaan.
Singkatnya, setiap orang yang ditemui oleh orang yang mengalami kebutaan tersebut akan langsung menjadi buta, layaknya virus yang menyebar begitu cepat meskipun tanpa adanya sentuhan, bahkan jarak pun tidak menjadi penghalang bagi kebutaan tersebut untuk menjangkiti setiap individu. Pantangan dalam bertatap muka atau memandang orang yang mengalami kebutaan tersebut kemudian menuntut pemerintah kota setempat untuk mengkarantina mereka yang terjangkit dan mereka yang kemungkinan terjangkit seperti keluarga individu yang mengalami kebutaan namun belum menjadi buta guna mencegah penyebaran penyakit untuk semakin meluas. Bangunan yang dulunya merupakan rumah sakit jiwa pun bertransformasi menjadi penjara bagi mereka yang mengalami kebutaan. Kebutaan yang dialami oleh mereka juga berbeda dengan kebutaan yang normalnya terjadi, dimana seseorang tak lagi memiliki pandangan selain dari pada hitam pekat bak sedang menutup mata. Kebutaan yang terjadi disini ialah penglihatan orang-orang berubah menjadi putih pekat bagaikan menyelam dalam kolam susu.
Para internees tersebut dilarang untuk keluar dari gedung dan bertemu langsung dengan tentara yang menjaganya. Meskipun mereka dijanjikan makanan dan kebutuhan penunjang hidup sehari-hari, yang mereka sering terima justru adalah timah panas yang melesat dari sumbu senjata yang selalu melekat pada tentara dengan licence to kill sebagai akibat dari ketakutan tentara tersebut setiap kali tak sengaja berhadapan dengan para internees. Pengantaran makanan yang tidak rutin dan kurangnya porsi yang diberikan kemudian menuntut para internees untuk saling bergantung pada cinta kasih satu sama lain untuk saling berbagi makanan, meskipun diperhadapkan pada kenyataan dimana kejujuran akan jumlah porsi makanan yang diperoleh tak lagi bisa diperdebatkan. Beruntunglah mereka yang tinggal di salah satu bangsal yang terdapat seorang perempuan yakni istri sang dokter mata yang mengalami kebutaan namun dirinya justru tidak mengalami nasib yang sama. Keberadaan the doctor’s wife yang sehat wal’afiat tersebut bagaikan pelita ditengah gelapnya dunia. dirinya sangat andal dalam membantu mereka yang buta dalam beraktivitas. Hingga kemudian kehidupan menjadi tambah suram akibat dari keberadaan kelompok separatis yang berupaya mengakuisisi seluruh jatah makanan dan meminta transaksi seperti hubungan itu itu apabila menginginkan sesuap nasi. Satu hal yang membuat kelompok separatis tersebut kuat ialah pistol yang dimiliki oleh sang leader, yang kemungkinan sengaja dibiarkan lolos agar para internees bisa saling bunuh-bunuhan dan pandemi pun hilang. Kekacauan yang diperbuat para hoodlums tersebut kemudian berhasil memantik serangan balik dari internees lainnya dan berujung pada terbakarnya rumah sakit tempat mereka dikarantina.
Kebakaran yang kemudian memaksa mereka kabur-kaburan kemudian membuat mereka tersadar bahwa tidak ada lagi tentara yang menjaga mereka disekitar lokasi karantina, lampu-lampu kota juga redup bagaikan kota mati. Ternyata pandemi kebutaan tersebut sudah tak lagi terbendung. Kebutaan telah menjangkit seluruh warga kota, peradaban yang mulanya berjalan secara rasional dan tampil aestethic dihidupi oleh para homo-economicus pun kemudian mulai bertransformasi menjadi alam liar dengan homo-erectus yang hidup berkelompok, berpindah dari satu supermarket ke supermarket yang lain, menjarah rumah ke rumah, demi mempertahankan hajat hidupnya.
Singkat yang dapat saya maknai dari novel ini, sang penulis sepertinya berupaya untuk menyindir pola perilaku individualisme yang berkembang di zaman moderen. Ia mengasumsikan pengelihatan seseorang sebagai awarness dan empathy yang tanpanya maka manusia tak lagi dapat menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang bermoral. Lantas, siapa yang kira-kira cocok untuk membaca novel ini? Jika anda menyukai cerita dengan tema dystopian, apocalypstic, anda mungkin cocok dengan novel ini. Novel ini juga bagi saya dapat dikatakan page turner, sang penulis dengan gaya eksperimentalnya sepertinya sukses dalam menyetir fokus pembaca, bahwa ketiadaan bab atau sub bab hingga paragraf yang dibuat sangat panjang kemudian memicu rasa dilematis akan skenario imajinasi yang dapat terdistrupsi apabila anda memutuskan untuk selesai membaca.
Leave a Reply