Mari Mengurungkan Niat Menjadi Juara Berprestasi

Mari Mengurungkan Niat Menjadi Juara Berprestasi

Gimana rasanya jadi sosok yang terlihat berprestasi? Tampil diatas panggung dengan mengangkat piala ataupun sertifikat penghargaan. Disaksikan oleh banyak orang, apalagi dengan jepretan foto yang nantinya diserap kedalam pamflet ucapan selamat kemudian disebarkan di media sosial. Waw.. anjay gua keren banget, mungkin itulah kalimat yang menggambarkan suasana hati bagi orang yang mengalami fenomena yang terilustrasikan diatas.

Suasana hati nan haru serta begitu gembira tersebut sebetulnya terlintas atas kenangan akan proses kompetitif yang dialami. Sehingga karena hal tersebut ada semacam hasrat menggebu-gebu yang timbul. Seolah ingin menceritakan pada orang-orang bagaimana perjuangan berdarah-darah yang tentunya tidak mudah telah dilalui sampai dapat meraih juara. Namun itulah hal yang dalam satu sisi juga agak aneh. Apakah orang lain akan peduli dengan proses atau dinamika yang dialami sang juara, ataukah yang timbul justru keirian dari orang lain yang juga mengharapkan pujian yang dilontarkan ketika juara?

Bagi gen-z yang tercandu-candu dengan motivasi ala-ala stoik kekinian mungkin cenderung akan mengambil hikmah atas proses sang juara untuk dijadikan pelajaran. Yah.. sebatas referensi penyemangat jiwa yang entah kapan juga akan dilakukan. Namun orang-orang yang paham akan cara kerja dunia yang begitu kompetitif, dimana kita berlomba-lomba dalam membangun personal branding tentu akan lebih condong pada rasa iri dan berupaya dengan segala cara agar juga mendapatkan juara. Persetan dengan prosesnya, toh yang orang-orang lirik juga hasil juaranya.. foto angkat pialanya.. sertifikatnya.

Begitulah kira-kira sedikit problematika dari Bangsat individualis dengan topeng gotong-royongnya. Agak lucu sebetulnya membahas problematika berprestasi sang juara tersebut. Lihat saja bagaimana mereka memperdebatkan isu solutif atau menawarkan ide, produk, ataukah plan dalam sebuah paper, esai, atau opini yang mengatasnamakan kekeluargaan, keadilan, kesejahteraan, serta kepentingan bersama. Namun, begitu ide tersebut dianggap terbaik lalu menjadikannya juara pemenang sehingga karenanya kemudian memperoleh dana. Bukannya digunakan untuk mengimplementasikan ide tersebut sehingga bisa berdampak terhadap masyarakat, dana tersebut justru diputar kembali untuk lagi-lagi mengikuti perlombaan. Pada akhirnya perlombaan itu seolah menjadi candu yang tak berkesudahan.. ibarat seorang pecandu judi online yang memiliki gairah tak berkesudahan mengincar jackpot scatter.

Agak menenangkan sebetulnya bagi mereka yang telah bermain di lapangan realistis untuk membiarkan ide-ide solutif tersebut berada dalam dunia perlombaan saja tanpa secara nyata diimplementasikan. Apalagi hadirnya media sosial seperti Linked In yang dapat menjadi bumbu dalam menambah cita rasa pamer ketika memenangkan suatu perlombaan tentu rasanya akan semakin lezat.

Menjadi sang juara yang berprestasi sebagaimana pemaknaan dari ilustrasi diatas tentu merupakan hal yang selayaknya diurungkan bahkan sedari niat. Apalagi mereka yang lelap dalam arena aktivis yang fokus pada pengaruh atau keberdampakan pada masyarakat. Baginya.. adalah suatu kehinaan tentunya menjadi juara dalam memberikan ide namun nol dalam aksi nyata.

sang indies:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*