Petaka Gunung Gede: Penerapan nilai-nilai enviromental etics melalui mitos masyarakat.

Petaka Gunung Gede: Penerapan nilai-nilai enviromental etics melalui mitos masyarakat.

From mythos to logos.” Sebuah narasi yang seringkali diagung-agungkan oleh paradigma modern untuk mengobrak-abrik metode berpikir tradisional menuju keilmiahan. Sejalan dengan itu Tan malaka dalam bukunya Madilog menegaskan bahwa metode berpikir mistis atau yang ia sebut logika mistika merupakan salah satu faktor penyebab ketertinggalan suatu bangsa dari kemajuan.[1] Namun hal tersebut tentu tak selayaknya kita terima secara cuma-cuma tanpa sama sekali mempertimbangkan unsur fungsionalitas akan lahir dan hidupnya mitos dalam masyarakat yang bisa jadi menjadi nilai positif tersendiri. Karena bagaikan pisau bermata dua, bahwa menurut Mircea Eliade mitos di satu sisi memiliki  peran  penting  dalam  membentuk perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Yang hal itu dapat difungsikan sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat terkhusus dalam menanamkam nilai-nilai moral pada generasi.[2]

Seperti yang terdapat dalam film Petaka Gunung Gede, yang di dalamnya banyak mengaitkan mitos-mitos masyarakat lokal terkhusus perihal pendakian untuk mendukung genre horornya. Mitos larangan perempuan yang sedang menstruasi untuk melakukan pendakian gunung menjadi persoalan awal yang dihadapi pada film tersebut. Ita sebagai karakter perempuan yang bersikeras untuk tetap melanjutkan pendakian meski sedang menstruasi diperhadapkan dengan banyak petaka dalam film. Mulai dari bagaimana ia melihat makhluk supranatural ketika mencuci pakaian dalamnya di kamar mandi yang di-mythos-kan sebagai penjaga gunung, yang kemudian membuat kondisi mentalnya sempat down pada malam sebelum pendakian. Sampai bagaimana ia menghadapi banyak hambatan oleh makhluk supranatural sepanjang jalur pendakian hingga puncak yang terus merasuki dirinya. Kondisi Ita atas petaka yang ia alami tersebut membuatnya dipandang sinis oleh rekan pendakiannya.

Bahkan dalam salah satu scene diperlihatkan bagaimana Ita membuang sebuah barang di lembah yang membuat para makhluk supranatural penjaga wilayah tersebut marah dan menolak kehadiran Ita dan kawan sependakiannya karena menanggap mereka telah mencemari kesucian wilayah tersebut. Atas tindakan Ita yang semena-mena tersebut membuatnya terus diganggu bahkan ketika ia telah pulang dari pendakian tersebut. Gangguan makhluk supranatural tersebut membuat kondisi Ita semakin kritis. Berbagai kyai telah didatangkan untuk menyembuhkannya bahkan ia dibawa kerumah sakit namun hal itu tak dapat menyembuhkannya. Ketika di rumah sakit, Ibu Ita sempat memberikan keterangan kepada Maya sahabat Ita bahwa satu-satunya cara menyembuhkan Ita adalah dengan mengambil kembali barang yang Ita buang ketika mendaki. Namun, ketidaktahuan akan hal tersebut menjadi misteri yang tak terpecahkan sampai Ita kemudian meninggal dunia.

Mitos-mitos serta petaka yang dialami Ita dan kawan-kawannya dalam film Petaka Gunung Gede pastinya tidak akan relevan jika dipahami secara literal. Hadirnya makhluk supranatural yang senantiasa menghantui Ita tentu akan terkesan tidak logis dan sangat jauh dari corak berpikir budaya ilmiah modern. Namun ketika mitos-mitos dan petaka diatas dipahami secara simbolik, maka barulah dapat kita temukan di dalamnya suatu jejak makna nilai yang luhur. Serupa dengan Demitologisasi yang dilakukan Rudolf Bultman sebagai metode penafsiran alkitab untuk masyarakat modern dalam mengupas mitos dan menyingkap tujuan asli serta kebenaran eksistensialnya.[3]

Larangan perempuan yang sedang menstruasi untuk melakukan pendakian gunung dapat kita pahami sebagai langkah preventif untuk melindungi dari berbagai kemungkinan yang tak diharapkan. Apalagi mengingat nilai patriarkis yang  mungkin masih hidup di masyarakat yang menganggap fenomena menstruasi sebagai hal kotor dan najis. Ditambah pula paradigma antroposentris yang menganggap perempuan dan alam sebagai suatu keterpisahan sehingga dimungkinkan untuk timbulnya kekhawatiran akan tindakan jorok perempuan yang sedang memgalami menstruasi sehingga dapat mengotori alam. Di samping itu, anggapan masyarakat akan peristiwa menstruasi sebagai suatu penyakit yang seringkali disertai dengan beberapa gejala yang timbul dan membuat kondisi kesehatan perempuan kurang stabil juga dapat menjadi alasan atas timbulnya larangan tersebut. Namun ketika dua hal diatas telah dipahami dan dapat diatasi maka larangan tersebut tentu tak lagi relevan kecuali jika diyakini secara konservatis terlepas dari nilai simboliknya.[4]    

Mitos kehadiran makhluk supranatural penjaga Gunung Gede sebagai pemberi petaka bagi mereka yang melanggar norma pendakian juga dapat kita pahami secara simbolik sebagai suatu pesan luhur untuk mencegah tindakan manusia yang dapat merusak alam. Terdapat semacam fear atau ketakutan yang ditanamkan, bahwa mereka yang melanggar norma pendakian Gunung Gede akan terus diganggu dan dihantui oleh makhluk supranatural Penjaga Gunung Gede bahkan akan mendatangkan petaka baginya. Kesombongan corak berpikir ilmiah yang mentah-mentah menolak keberadaan mitos tanpa mencoba menyelidiki maksud sebenarnya dari lahir dan hidupnya mitos dalam masyarakat tentu dapat menjadi ancaman yang menjembatani manusia semena-mena terhadap alam. Tanpa ketakutan yang tertanam sebagai sanksi, pelanggaran seperti membuang sampah serta buang air dimana saja ketika pendakian, penebangan liar, pembangunan industrial dengan dalih pengembangan wisata, serta berbagai tindakan lain yang dapat merusak alam dapat dengan bebas dilakukan oleh manusia tanpa halangan. Apalagi jika hukum dan penegak hukum di wilayah tersebut memang acuh bahkan berpihak pada kapitalis untuk keuntungan pribadi semata. Tentu akan menjadi ancaman besar yang selayaknya untuk dipertimbangkan.


[1] Subagja, Suni. “Studi Kritik Pemikiran Tan Malaka tentang Logika Mistika dalam Madilog Perspektif Hadis.” Jurnal Riset Agama 4.2 (2024): 81-93.

[2] Patty, Elyakim Nova Supriyedi, et al. “Analisis Peran Mitos Dalam Pendidikan Karakter Masyarakat: Studi Kualitatif Deskriptif.” Varied Knowledge Journal 2.1 (2024): 35-42.

[3] Utami, B. F. K. A. Dekonstruksi Kemapanan Mitos-Mitos dalam Novel.

[4] Lestari, Windy. Konstruksi Nilai Sosial Pendaki Gunung Melalui Mitos Pendakian (Studi Kasus: Gunung Prau). BS thesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021.

sang indies:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*