Yang Diperlukan TNI Adalah Moderenisasi, Bukan Dwifungsi

Yang Diperlukan TNI Adalah Moderenisasi, Bukan Dwifungsi

RUU TNI telah disahkan oleh DPR RI melalui sidang paripurna menjadi UU pada Kamis, 20 Maret 2025. Banyak yang menyayangkan dengan disahkannya revisi UU TNI yang menjadi pintu gerbang dwifungsi TNI dan matinya supremasi sipil.

Konsep Dwifungsi ABRI lahir sebagai landasan bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk berperan dalam bidang pertahanan dan politik, yang secara resmi dikodifikasikan pada tahun 1958 dan semakin diperkuat di era pemerintahan Soeharto. Konsep ini memberikan legitimasi bagi militer untuk terlibat dalam pemerintahan sipil, menjadikan ABRI tidak hanya bertanggung jawab atas keamanan negara, tetapi juga memainkan peran penting dalam sektor sosial-politik. Dominasi militer dalam struktur kekuasaan selama lebih dari tiga dekade dianggap sebagai strategi untuk menjaga stabilitas nasional, meskipun dalam praktiknya justru mempersempit ruang demokrasi dan memperkuat rezim otoriter. Reformasi 1998 menjadi titik balik dengan dihapuskannya dwifungsi ABRI, yang mengarah pada pemisahan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta mengembalikan militer ke fungsi pertahanan murni.

Setelah perjuangan panjang reformasi yang berupaya mengembalikan tentara ke barak, revisi UU TNI kembali membukakan jalan bagi tentara aktif untuk masuk ke ranah sipil. Lalu muncul pertanyaan besar, untuk siapakah sebenarnya revisi UU TNI? Dan siapa yang diuntungkan?
Dalam sebuah jurnal tulisan Kolonel Sus. Prof. Dr. Drs. Mhd. Halkis, M.H bersama Kolonel Chandra Ariyadi Prakosa, Halkis menulis artikel dalam sebuah jurnal yang menyoroti kompetensi digital dan manajemen SDM TNI. Salah satu data menarik dalam tulisan mereka adalah jumlah jenderal yang jauh melebihi kebutuhan: 1.294 orang, dengan kelebihan 419 perwira menengah dan tinggi. Bandingkan dengan Angkatan Darat AS, yang memiliki 218 jenderal untuk ratusan ribu personel. Mungkinkan revisi tersebut bertujuan untuk menampung pati pati di tubuh TNI yang saat ini “non-job”?
Letnan Jenderal (Purn.) Agus Widjojo, seorang tokoh reformis di tubuh TNI, menilai bahwa RUU TNI yang baru saja disahkan justru membawa militer Indonesia mundur ke masa lalu. Menurutnya, ada kekuatan besar yang masih menginginkan kembalinya dwifungsi militer, di mana tentara kembali terlibat dalam politik dan urusan sipil. Agus menyoroti bahwa reformasi TNI seharusnya menuntaskan penghapusan pengaruh militer dalam kehidupan sosial-politik, termasuk dengan membubarkan struktur komando teritorial seperti kodam, kodim, koramil, dan babinsa. Namun, langkah tersebut tidak pernah terealisasi, bahkan kini terlihat ada upaya untuk mengembalikan peran tentara di ranah sipil.

Modernisasi dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi keharusan untuk menghadapi tantangan geopolitik dan teknologi yang terus berkembang. Dalam aspek struktural, fleksibilitas dan efisiensi organisasi perlu ditingkatkan agar lebih adaptif terhadap ancaman multidimensional. Restrukturisasi ini mencakup reformasi pola komando, integrasi teknologi canggih, serta peningkatan koordinasi antarmatra guna menciptakan postur pertahanan yang lebih efektif.

Di sisi doktrin, TNI perlu menyesuaikan konsep pertahanan dengan perkembangan perang modern. Pentingnya pergeseran dari paradigma keamanan dalam negeri menuju sistem pertahanan luar negeri yang lebih proaktif. Hal ini mencakup peningkatan interoperabilitas, pembaruan doktrin operasi militer non-perang, serta penguatan kemampuan siber dan teknologi informasi bukan malah masuk ke ranah sipil.

sang indies:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*