Teror Dungu Ala-ala The Godfather

Teror Dungu Ala-ala The Godfather

Belakangan ini sedang hangat pengiriman paket daging kepada jurnalis seolah-olah sebuah parcel untuk menyambut lebaran. Banyak narasi mengatakan bahwa pengiriman paket-paket berkah ini adalah salah satu bentuk teror terhadap kebebasan berpendapat bagi jurnalisme. Alih-alih ketakutan, jurnalis berekspresi kembali dengan bercanda mengejek paket itu karena dagingnya kurang. Seketika melihat aksi teror ini, seolah-olah mengingatkan kita bahwa seolah-olah aksi ini terinspirasi dari salah satu franchise film klasik berjudul The Godfather.

The Godfather merupakan franchise film klasik yang populer mengangkat dinamika kehidupan organisasi kriminal Mafia Italia. Film ini menceritakan bagaimana cara kerja mereka dalam menyukseskan berbagai ambisi mereka dalam memperoleh kekuasaan dan kekayaan termasuk bagaimana mereka berurusan dengan lawan-lawan mereka. Salah satu cuplikan yang menarik dan relevan untuk kita bahas adalah cuplikan legendaris di The Godfather (1972). Suatu teror dilancarkan oleh sang pemeran utama untuk menekan lawan mereka agar mengikuti keinginan sang bos mafia. 

Latar belakang peristiwa dimulai ketika seorang penyanyi Hollywood bernama Johnny Fontane menginginkan sebuah peran didalam film yang sedang digarap produsen bernama Woltz. Sayangnya, Woltz enggan memberikan peran tersebut kepada si John. Sebagai seorang anak baptis dari bos mafia bernama Don Vito Corleone, John meminta tolong kepada sang ayah baptis untuk mendapatkan peran tersebut. Don Corleone mengirim seorang pengacara untuk membahas hal tersebut bersama Woltz namun tetap ditolak. Penolakan ini kemudian direspon oleh sang Don dengan membantai kuda kesayangan Woltz dan mengirimkan kepala kuda malang di tempat tidur produsen kaya itu saat terlelap. Yah, sontak saja ketika terbangun produsen tersebut kebingungan melihat darah di selimutnya dan teriak histeris sejadi-jadinya ketika melihat kuda kesayangannya mati tanpa tubuh di kasurnya sendiri.

Melihat cuplikan tersebut, suatu efek psikologis dari teror yang melibatkan perasaan yang kompleks bagi sang produsen menciptakan suatu kondisi kengerian tertentu dan membuat cuplikan tersebut melegenda di dunia film. Kita dapat melihat bahwa kondisi teror yang diciptakan oleh Don Vito Corleone bukan sekedar teror murahan seperti memenggal kepala babi atau mengirim bangkai tikus dan mengirimkannya ke halaman seseorang. Teror yang mengerikan ini melibatkan kompleksitas perasaan yang mendalam dari cinta, kebanggaan, dan rasa aman yang direnggut dengan remeh oleh kekuasaan besar yang tak di sangka-sangka.

Memang jika kita merujuk suatu kajian tentang teror, teror tidak selalu tentang kekerasan fisik sebagai efeknya. Teror juga dapat berupa psikologis sebagai efek dari suatu aksi terorisme. Hal ini dikemukakan oleh Bruce Hoffman dalam Inside Terrorism. Menurut Hoffman (2006), teror dilakukan dengan melakukan aksi simbolik dengan tujuan tidak hanya dampak fisik namun psikologis yang tercipta dari suasana mengerikan teror tersebut. Dengan kondisi teror, akan tercipta rasa takut dan penurunan kepercayaan diri bagi yang terteror sehingga merasa kecil dan terintimidasi. Hal ini tentunya seringkali digunakan untuk sekedar menunjukkan kekuasaan yang besar atau merubah pikiran orang lain agar bertindak seseuai keinginan sang teroris. Dalam politik, Niccolo Machiavelli dalam Il Principe juga seringkali menyatakan bahwa teror seringkali digunakan sebagai alat yang efektif bagi penguasa untuk menciptakan ketertundukan bagi orang yang dikuasai. 

Melihat fenomena yang belakangan ini terjadi, teror yang tertuju ke kalangan jurnalis seringkali dikaitkan oleh upaya suatu kepentingan untuk menekan kebebasan berpendapat. Namun, jika melihat metode teror yang digunakan, agak lucu sepertinya jika mengetahui bahwa teror sebenarnya bukan hanya sebagai pesan simbolik yang mentah untuk menunjukkan suatu kuasa yang besar namun juga menciptakan rasa takut yang signifikan karena hilangnya sesuatu yang berharga seperti cinta atau kebanggaan. Aksi teror oleh kekuasaan yang tidak diketahui ini bukan saja merupakan tindakan bajingan. Namun juga mengandung pesan lemah makna untuk meredam perjuangan akan demokrasi. Sehingga salah satu kesimpulan menarik yang bisa diambil dari kasus ini adalah bahwa teror ini tidak lebih menunjukkan kepada kita bahwa ada upaya terorisme yang bajingan lagi tolol untuk meredam suara kritis yang mengancam suatu kekuasaan. Teror ini tidak merenggut kebanggaan dan cinta akan suara kritik keras yang membela ketertindasan.

sang indies:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*