Psikoanalisa dan Akar Kekerasan Seksual

“Masalah kendu ini, Erwin”, bunyi stiker salah seorang kawan di Whatsapp. Meme ini cukup populer, boleh jadi karena kata “kendu” yang berarti persetubuhan dalam bahasa Toraja. Sekilas, meme tadi tak bermakna apa-apa, hanya untuk lucu-lucuan saja. Namun jika kita renungkan lebih dalam, ia sebenarnya sarat akan nuansa freudian.
Sigmund Freud, dalam upayanya menjelaskan hakikat manusia, menawarkan konsep kontroversial sekaligus groundbreaking: alam mental seseorang, menurutnya, ibarat sebuah gunung es. Sebagian kecil gumpalan es yang mencuat ke atas permukaan laut ia umpamakan sebagai alam sadar (consciousness), sedangkan sebagian besar yang tenggelam ia analogikan sebagai alam bawah sadar (unconsciousness).
Freud percaya bahwa alam sadar hanya berperan kecil dalam pembentukan perilaku manusia, dan sebaliknya, alam bawah sadarlah yang sejatinya mengendalikan tingkah laku kita. Sederhananya begini, pernah nda’ kamu — dengan sekuat tenaga — menahan kentut waktu jalan berdua dengan pacar? Nah, keputusanmu untuk menahan kentut itu sebenarnya tidak berangkat dari kesadaran, melainkan alam bawah sadar. Untuk lebih mengerti hal ini, kita perlu terlebih dahulu memahami bagaimana alam mental kita bekerja.
Menurut Freud, setiap tingkah laku manusia adalah hasil dari interaksi — serta konflik — antara tiga komponen penyusun alam mental, yakni id, ego, dan superego. Id, pada hakikatnya, bersifat primordial. Ia sudah ada dalam diri kita sejak lahir. Id bekerja dengan prinsip kesenangan, selalu mengarahkan kita kepada segala hal yang instan dan nikmat (immediate pleasure). Makan, minum, dan — paling terutama — seks, termasuk dalam kenikmatan ini, dan apabila gagal dipenuhi akan menimbulkan kegelisahan. Bayi yang lapar misalnya, jika tidak diberikan makan, akan menangis sejadi-jadinya sebagai usaha untuk memenuhi keinginannya.
Di sisi lain, superego adalah hasil internalisasi nilai, etika, dan standar sosial yang diajarkan pada kita — baik secara langsung maupun tidak (pengalaman traumatik) — sewaktu kita masih kanak-kanak. Superego berjalan menggunakan prinsip moral (morality principle). Dengan kata lain, superego berfungsi untuk menekan dorongan id, memaksa seseorang untuk menjalani hidup bermoral.
Terakhir adalah ego, beroperasi dengan prinsip kenyataan (reality principle), ia senantiasa menengahi tegangan antara id dan superego; entah itu memenuhi tuntutan kesenangan yang pertama atau tunduk pada supremasi moral yang kedua. Ketika egotidak mampu menjalankan fungsinya, saat itu pula seseorang dapat terserang psikoneurosis atau gangguan kejiwaan.
Oke, sekarang kita coba hubungkan gagasan di atas dengan kentutmu tadi. Kalau kamu sedang sendirian, pastinya sedari tadi gas beracun tersebut sudah memenuhi lubang hidungmu. Toh, kentut itu tuntutan biologis, primordial (id). Masalahnya, kamu sedang bersama pacarmu. Panik gak tuh? Nah, berhubung kamu ingat kalau kamu pernah ditertawakan teman sekolahmu waktu kentut di kelas (superego), alhasil, kamu putuskan untuk tahan kentut agar tidak malu di hadapan pacarmu (ego). Kira-kira seperti inilah proses alam mental mengontrol setiap tindak tanduk kita dalam kehidupan sehari-hari.
Lantas, bagaimana dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang marak terjadi? Apakah bisa dijelaskan menggunakan psikoanalisa?
Bismillahirrahmanirrahim.
Dorongan seksual pada setiap manusia adalah hal lumrah, bahkan niscaya — jika kita tidak memasukkan mereka dengan kecenderungan aseksual. Layaknya makan dan minum, kebutuhan seks juga menuntut untuk dipenuhi. Seperti pembahasan kita tadi, ketika id tidak mampu disalurkan, muncul kegelisahan dan kecemasan (anxiety). Ego, secara alamiah, akan mencari jalan keluar dari keadaan ini.
Orang-orang yang kokoh superegonya mungkin masih mampu merepresi total libidonya, atau paling tidak, mengalihkan birahi tadi ke hal-hal lain seperti hobi. “Sunna’, daripada sangean ka’, mending main game deh”, ujar salah satu teman kampusku dulu. Strategi pengalihan ini termasuk dalam salah satu mekanisme pertahanan ego (sublimasi) untuk keluar dari kegelisahan tadi.
Lalu bagaimana dengan mereka yang dinding moralnya setipis triplek 3mm? Yah, kemungkinan besar mereka samberlap. Hantam lurus. Tena sisteng. Jika kita konsisten dengan sudut pandang Freud, kita akan melihat manusia sebagai makhluk deterministik. Setiap gerak gerik kita berasal dari suatu kekuatan irasional, tak sadar, impulsif, instingtif, dan biologis. Intinya, pendorong utama manusia dalam setiap aktivitasnya tidak lain adalah untuk kepentingan perut dan kelamin.
Bukankah ini persoalan kendu, Erwin?
Leave a Reply