Keperempuanan
Dalam melakukan interaksi sehari-hari bahasa merupakan hal yang sangat penting bagi manusia karena bahasa merupakan media atau alat utama bagi manusia dalam menjelaskan realitas. Dalam pandangan lain bahasa juga dianggap sebagai cerminan atau representasi dari pikiran manusia dalam hubungannya dengan realitas, lebih jauh bahasa bahkan dianggap sebagai representasi dari realitas itu sendiri. Rousseau sendiri membagi bahasa dalam dua bentuk, yaitu lisan yang dianggap sebagai representasi realitas secara langsung dan tulisan yang merupakan suplemen dari lisan. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa Rousseau menganggap lisan jauh lebih natural dibandingkan tulisan. Di sisi lain Derrida berpendapat bahwa bahasa bukan tentang realitas dan bukan pula realitas itu sendiri, melainkan realitas yang berbeda dari realitas pada dirinya sendiri. Bagi Derrida, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan bahasa memiliki kedudukan yang sama dihadapan realitas, yaitu sebagai suplemen. “Suplemen” yang dimaksudkan oleh Derrida ialah kondisi pemahaman manusia yang asing terhadap realitas. Penggambaran sederhana dari “suplemen” yang dimaksud ialah meskipun manusia buta dan tidak memahami realitas, manusia akan tetap berusaha menggunakan logika dalam upaya memahami realitas. Tepatnya, bahasa menambahkan sesuatu pada realitas dan secara bersamaan menggantikannya dengan bentuk yang lain, yaitu bentuk yang dapat dikenali oleh logika manusia. Oleh karena itu bahasa selalu memiliki potensi untuk mendekonstruksikan dirinya sendiri. Bahasa tidak akan bisa didefinisikan secara final karena sangat bergantung dengan konteks dan selalu berpotensi untuk multitafsir.1
Melalui Dekonstruksi inilah kita dapat menatap curiga dan melakukan penelusuran terhadap berbagai kata dalam bahasa yang telah menjadi aturan baku serta telah disahkan oleh kultur dan terjaga oleh sejarah dalam mengungkap berbagai makna-makna dalam kata yang selama ini terpinggirkan, diabaikan, atau bahkan disembunyikan. Dengan kata lain kita akan menggunakan dekonstruksi ini dalam melakukan pembongkaran terhadap makna dari suatu kata.2 Hal ini dilakukan karena seringkali bahasa menjadi komoditas industrial, yakni produk rekayasa para profesional yang dirancang untuk dipasarkan secara massal demi kepentingan politik. Akibat dari hal tersebut maka seringkali terjadi eufimisme yang pada akhirnya akan melahirkan “pemiskinan atau penyempitan makna”. Dalam keseharian para penutur bahasa hanyalah konsumen yang bergantung kepada para profesional bahasa yang memiliki kuasa dalam melakukan politisasi bahasa melalui dalih pembinaan dan pengembangan” aturan baku dalam berbahasa di dunia pendidikan. Dengan kata lain, politisasi bahasa tersebut melalui pandangan Gramsci dapat kita sebut sebagai hagemoni. Menurut Gramsci hagemoni diatur oleh para “intelektual organik”. Yakni oleh mereka yang dianggap sebagai para tokoh moral dan intelektual yang bekerja untuk melanggengkan kekuasaan atas kelompok lemah secara dominan melalui penentuan arah konflik, politik, dan wacana yang berkembang di masyarakat.3 Upaya tersebut dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sarana, baik itu melalui media cetak seperti koran dan majalah serta media elektronik seperti televisi dan radio, bahkan sampai dengan pemanfaatan sosial media. Melalui media tersebutlah dibentuk suatu pemaknaan bahasa tertentu dalam memasuki alam ketidaksadaran tiap individu dalam masyarakat. Hal itu dapat kita tinjau melalui pandangan Sigmund Freud seorang pendiri psikoanalisis yang melihat hubungan antara bahasa dan komponen ketidaksadaran. Menurut Sigmund Freud bahasa merupakan jalan satu-satunya untuk masuk ke dalam alam ketidaksadaran (the unconsciousnes). Bahasalah yang mengubah seorang anak dari hommelette atau manusia kecil yang kemudian menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan.4
Keperempuanan dan seluruh hal yang terkait dengannya sampai hari ini menjadi pembahasan yang populer. Apa yang terlintas dalam benak kita terkait kata perempuan mungkin akan langsung merujuk pada pemaknaan secara biologis, yakni manusia yang secara kodrati memiliki rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan sebagainya.5 Namun melalui tulisan ini akan kita lakukan dekonstruksi pada pemaknaan kata keperempuanan itu terlepas dari persoalan identik atau tidaknya terhadap persoalan gender dalam upaya menemukan makna-makna yang yang mungkin keliru, tersembunyikan, atau bahkan telah megalami pergeseran makna dalam penggunaan kesehariannya. Untuk itu pertama-tama kita perlu memperjelas terlebih dahulu bagaimana kita memaknai keperempuanan dengan memisahkannya dengan imbuhan-imbuhan yang melekat dan menyoroti kata dasarnya. Pertama kita pisahkan dulu konfiks pembentuk nomina ke–an yang dapat dimaknai sebagai “abstraksi yang mempunyai ciri atau sifat” sehingga hanya tersisa kata Perempuan. Dalam pandangan populer, kata perempuan ini secara etimologi berasal dari kata “empu” dari bahasa Jawa kuno yang kemudian diserap kedalam bahasa Melayu yang berarti “tuan, mulia, hormat”.6 Kata “empu” tersebut mengalami pengimbuhan per–an yang dapat kita maknai sebagai “hal atau keadaan”. Sehingga dari hasil pembedahan melalui pemisahan-pemisahan antara konfiks dan nomina kata keperempuanan tersebut maka kita temukan bahwa keperempuanan ialah “suatu hal atau keadaan yang mempunyai ciri atau sifat yang mulia”.
Sifat mulia yang dimaksudkan disini menurut Imam Ghazali ialah, kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘Adl), keberanian (Shaja’ah) dan sifat memelihara diri atau disiplin (‘iffah). Diantara keempat hal itu keadilan menjadi nilai utama yang menjadi pusat yang nantinya akan berpuncak pada kebijaksanaan. Adapun keadilan yang dimaksud ialah bagaimana menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya. Itulah sebabnya keadilan menjadi pusat nilai utama, karena ia berpengaruh terhadap nilai-nilai lainnya dalam hal bagaimana ia menyeimbangkannya. Suatu kebijaksanaan mesti berada dalam takaran yang seimbang, yang tidak berkurang sehingga menghasilkan kebodohan atau kegilaan, tidak pula berlebihan sehingga menghasilkan kelicikan dan penuh helat. Keadilan ini juga yang menyeimbangkan sifat berani dan memelihara diri. Jika terlalu berani maka akan melahirkan kediktatoran dan kecondongan pada individu yang imperatif, jika terlalu memelihara diri juga akan menghasilkan individu yang tamak, penakut, atau pengecut.7
Dapat dibayangkan betapa damai dan sejahteranya kehidupan bila dipenuhi oleh “perempuan”, yakni mereka yang hadir dengan kebijaksanaan, keadilan, keberanian, serta kedisiplinan atau kemampuannya memelihara diri dalam mengatasi berbagai problem dalam dinamika kehidupan. Namun agar hal tersebut tidak menjadi angan-angan belaka maka dalam mewujudkannya diperlukan sosok inisiator, yakni mereka yang berinisiatif atau mau melakukan segala sesuatu tanpa menunggu untuk diminta atau diperintah terlebih dahulu.8 Inisiator inilah yang akan memprakarsai serta menjadi teladan bagi yang lain untuk turut tergerak dalam menjadi “perempuan” dengan empat sifat mulia yang utama. Inisiator ini juga dapat disebut sebagai “creative minority” atau minoritas kreatif, yakni mereka yang meski dengan jumlah sedikit atau minoritas namun mampu mempengaruhi dan memberikan dampak perubahan terhadap sekitarnya.9 Mereka juga merupakan individu-individu yang berani tampil ke depan megambil langkah serta memberi jawaban dan respon terhadap tantangan zamannya.
1. Ruhupatty, C. . (2023). Bahasa sebagai Suplemen dalam Pandangan Dekonstruksi. Dekonstruksi, 9 (02), 9–13. https://doi.org/10.54154/dekonstruksi.v9i02.140
2. Rahwati, W., Srikandi, C. N., Ariefa, N. A. A. A., & Lubis, B. (2020). Pemaknaan Dekonstruksi Konsep Perempuan Ideal dalam Film Pengabdi setan (2017). LINGUA: Jurnal Ilmiah, 16 (2), 39-58.
3. Anshori, D. S. (2008). Hegemoni dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca Orde Baru: Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik di Indonesia. In Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI (Vol. 30).
4. Junus, Fierenziana. (2009). Bahasa dan Kekerasan Terhadap Perempuan. IV. 16-32
5. Huriani, Yeni. (2021). Pegetahuan Fundamental Tentang Perempuan.
6. PN, Anggun Dwi Tasya. Analisis Peran Perempuan Sebagai Entrepreneur Dalam Peningkatan Usaha (Studi di Tata Cake’s Kota Metro). Diss. IAIN Metro, 2023.
7. Noor, Khairunneezam & Mutalib, Mahazan & Mohd Jailani, Mohd Rushdan & Wan Razali, Wan Mohd Fazrul Azdi. (2019). Empat Sifat Mulia yang Utama dalam Kepemimpinan Berasaskan Qalb: Pelajaran daripada Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn oleh Imam Al-Ghazali (450-505H / 1058-1111M).
8. Safitri Awaliah, D. Peran dan Strategi Pemasaran Agen dalam Mempertahankan Loyalitas Nasabah PT Asuransi Jiwa Syariah Bersama Bumiputera (Doctoral dissertation, IAIN Bengkulu).
Leave a Reply