Indies Berkebun : Harmonisasi Pedesaan dan Masyarakat Urban.
Dibalik hiruk pikuk dinamika masyarakat urban, sobat indies kali ini mencoba beraliansi dengan salah satu kawan di kampung Bengo, Desa Tamalatea, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa. Aliansi kali ini dilakukan untuk mencoba menerobos kejenuhan rutinitas urban melalui kegiatan berkebun, yakni dengan memanen jagung dan cokelat bersama. Melalui kunjungan kali ini kami juga mencoba untuk melakukan analisis melalui adaptasi dan interaksi dalam mempelajari nilai-nilai serta pola kehidupan sehari-hari antara masyarakat kampung Bengo tersebut yang kemudian kami komparasikan dengan kondisi urban yang merupakan medan aktivitas rutin kami.
Kami menghabiskan waktu selama dua hari di kampung tersebut yang tentunya bukanlah waktu yang cukup bagi kami untuk dapat meresapi secara sepenuhnya pola kehidupan yang berkembang. Meskipun waktu kami terbilang sebentar, kami rasa kesempatan yang kami dapatkan sudah cukup bagi kami untuk tersadarkan bahwa terdapat pola kehidupan alternatif yang mungkin akan lekang seiring dengan berkembangnya zaman.
Bukan sesuatu yang mudah ketika kami mengarahkan sepeda motor dari jalan utama ke satu-satunya jalan menuju kampung yang kami tuju. Rimbunnya pepohonan dan tajamnya bebatuan menemani perjalanan kami yang diselimuti rasa kekhawatiran akan kemampuan kami untuk sampai di tujuan dengan selamat. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu 10 hingga 15 menit harus kami tempuh hingga setengah jam mengingat betapa terjalnya tanjakan dan dalamnya lubang-lubang yang harus kami lalui dengan penuh kehati-hatian. Namun, kengerian kami akan perjalanan terbayarkan dengan apa yang kami nikmati selama berkontemplasi di kampung tersebut.
Hari pertama, seorang kawan yang menjadi tuan rumah mengajak kami untuk memanen jagung di kebunnya yang tak jauh dari kediamannya. Mengingat sudah menjadi keseharian kami untuk menjalani aktivitas perkuliahan, berdiskusi, dan berorganisasi, tentu memanen jagung bukanlah keahlian kami. Rasa penasaran kami dan besarnya harapan kawan yang mengajak kami pada akhirnya mampu membangkitkan semangat kami yang ditelan oleh rasa kekecewaan kami akan ketiadaan sinyal ponsel. Menginjakkan kaki di kebun jagung tentu persoalan mudah, mempersiapkan diri untuk bertani yang kemudian menjadi masalah. Setibanya kami di kebun, kawan kami kemudian menjelaskan tentang apa saja yang harus dilakukan selama di kebun, jagung seperti apa yang harus dipanen, dan bagaimana cara memanennya. Hanya butuh waktu satu menit setelah diberikan arahan bagi kami untuk kemudian mengeluarkan ponsel dan berswafoto.
Satu jam tak dirasa sudah berlalu, setelah bersusah payah memanen, memilah, dan mengumpulkan, banyaknya jagung yang kami dapat tidak sebanding dengan banyaknya foto dan video yang diambil. Anda pasti tahu mana yang lebih banyak. Begitulah ketika kami yang berhabitat di perkotaan pergi ke pedesaan. Kami tentunya berupaya untuk mengabadikan keindahan, kesunyian, dan keharmonisan suasana alam yang tentunya jarang kami temui. Begitulah kira-kira pembelaan kami yang norak. Setelah menghabiskan waktu 3 SKS di perkebunan, kami lelah dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Tak banyak sendau gurau yang kami lakukan hingga rasa kantuk dan kebosanan memaksa kami untuk terlelap dalam kesunyian malam.
Keesokan harinya, secangkir kopi dan mentari pagi memberikan kehangatan pada kami yang masih diselimuti rasa kantuk dan dinginnya malam di kampung Bengo. Kami yang baru saja terbangun dan sedang menikmati sarapan dikejutkan dengan kedatangan tamu yang merupakan penduduk setempat. Bukan suatu hal yang jarang bagi penduduk di pedesaan untuk bertamu tanpa didahului konfirmasi atau undangan dan bahkan dilakukan hampir setiap hari meski tidak ada kepentingan yang mendesak. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang diperlukan adanya hari-hari tertentu seperti hari raya untuk mendorong terjadinya silaturahmi antar tetangga atau sesama warga.
Setelah selesai menyeruput secangkir kopi, kami kemudian segera bergegas menuju kebun untuk memanen coklat. Berbeda dengan jagung, dibutuhkan adanya keseriusan dalam memanen bahan baku silverqueen ini. Kami perlu lihai dalam memilah coklat yang layak panen dan layak untuk diproses. Kunjungan ke kebun kali ini berhasil mencapai apa yang diharapkan oleh kawan kami, mungkin disebabkan oleh kami yang mulai kelaparan sehingga proses memanen bisa kami lakukan dengan cepat. Setelah selesai memanen, kami kembali ke rumah untuk menyantap makan siang dan berkemas untuk kembali ke perkotaan.
Begitu singkat waktu kami di kampung itu. Begitu sedikit aktivitas yang kami lakukan pada kesempatan itu. Tak banyak pelajaran yang dapat kami petik untuk menjadi bekal bagi perjalanan kami kembali ke kawasan urban. Namun, dua hari berada di kampung itu seakan memberikan kesempatan bagi kami untuk menyadarkan diri bahwa terdapat keharmonisan yang tersembunyi diseberang sungai, dibalik perbukitan, dan dibawah rimbunnya pepohonan.
Perkampungan dan perkotaan adalah dua hal yang berbeda. Dua-duanya tentu merupakan tempat bagi sekumpulan orang untuk menjalani kehidupan. Tetapi keduanya berbeda pada aspek mengenai bagaimana sekumpulan orang tersebut menjalani kehidupannya. Tentu tidak dapat dikatakan akurat dan bijaksana untuk mendeskripsikan pola-pola kehidupan yang berkembang di kampung dan mencoba memaknai apa yang dirasakan oleh warga setempat mengingat kami bukanlah bagian dari warga kampung yang betul-betul memahami kenikmatan dan berbagai tantangan yang timbul dalam menjalani kehidupan. Meski demikian, kami tetap berupaya untuk menuangkan pengalaman yang terukir di benak kami selama dua hari itu.
Keharmonisan. Adalah kata yang sekiranya dapat mendeskripsikan pengalaman kami melihat bagaimana warga kampung menjalani kehidupannya. Apa yang kami maknai dari keharmonisan bukan lah sekadar keteraturan dan kedamaian. Lebih dari itu, keharmonisan yang kami maksud adalah keserasian antara manusia, alam, dan proses kehidupan yang terjadi.
Tentu tidaklah natural untuk sebuah kawasan hutan dan ladang liar diubah menjadi perkampungan dengan berbagai infrastruktur penunjang, perkebunan, dan peternakan. Tetapi setidaknya kreasi manusia tersebut tidak mendominasi pemandangan yang ada pada kampung tersebut. Kami masih dapat melihat rimbunnya pepohonan menyelimuti perbukitan yang berjejer disekeliling desa, rumput dan ilalang liar masih lebih dominan ketimbang aspal dan semacamnya. Keharmonisan tidak hanya dapat dirasakan pada hubungan antara masyarakat dan alam yang saling hidup berdampingan dan mengambil ruang secukupnya, tetapi keharmonisan itu juga dapat dirasakan pada pola hubungan antar warga itu sendiri.
Bagaimana para warga berkumpul di perkebunan, di salah satu rumah, hingga saling bersaut-sautan ketika berpapasan dalam perjelanannya beraktivitas cukup memberikan kesan pada kami akan betapa harmonisnya hubungan diantara mereka. Seperti yang telah diceritakan, para warga tidak saling sungkan untuk bertamu ke tetangga tanpa adanya maksud tertentu atau kepentingan yang mendesak. Obrolan ringan seputar hasil panen dan cuaca sambil ditemani kopi hitam sudah cukup untuk mempersatukan masyarakat yang sedang mengisi waktu luangnya disela-sela aktivitas keseharian. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kepercayaan antar warga juga tinggi. Tak perlu ragu bagi kami untuk meninggalkan kunci di sepeda motor dan pergi meninggalkannya. Hal yang tentunya menjadi atraksi sulap menghilangkan kendaraan dalam sekejap apabila dilakukan di perkotaan.
Disamping hubungan komunitas yang berkualitas, kualitas hidup para warga setempat juga turut melengkapi warna keharmonisan yang ada. Aktivitas keseharian warga kampung Bengo diawali sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya fajar dan kegelapan yang dihasilkan kemudian seakan menyisir warga kampung untuk kembali ke kediamannya masing-masing. Sang petani, peternak, Ibu, dan anak kembali bersatu menjadi keluarga. Mereka menyantap makan malam bersama, berbagi cerita dan pelajaran hingga kemudian kantuk memisahkan mereka.
Sementara di perkotaan, keharmonisan antara manusia dan alam sangatlah buram untuk bisa disimpulkan hanya dari praktik membuang sampah pada tempatnya. Kepercayaan antar para kaum urban dikalahkan oleh kencangnya laju kompetisi dan hasrat dominasi. Kualitas hidup sangat sulit untuk diukur berhubung indikator beserta alat pengukurannya terhalangi oleh berbagai jenis polusi. Petanda dimulai dan diakhirinya suatu aktivitas tidak mengacu pada pola waktu, melainkan selesai atau tidaknya tugas dan tanggung jawab yang diemban.
Mungkin menjadi sebuah kesalahan untuk mengkomparasikan kehidupan di kampung dan di kota, mengingat dua hal tersebut didesain dengan tujuan yang berbeda. Keinginan manusia untuk hidup menetap dan memenuhi kebutuhan dasarnya mendorong para warga untuk membuat suatu perkampungan. Sementara keinginan untuk memudahkan proses administratif dan menjadi medan bagi laju perekonomian merupakan tujuan yang kemudian membentuk karakter kawasan urban.
Leave a Reply