Generasi Z Tukang Teori
Sejak munculnya Teori Generasi (Generation Theory), kita diperkenalkan istilah traditionalist, baby boomers, generasi X, Y, Z dan alpha. Teori generasi berfokus pada pola siklus generasi dalam sejarah dan dampaknya pada perkembangan sosial, politik, dan budaya. Segala sesuatu terutama yang berhubungan dengan prilaku, gaya hidup, profesi, budaya yang sering dikaitkan dengan ciri-ciri dari generasi-generasi tersebut. Teori yang dikemukakan oleh Strauss dan Howe merupakan asumsi yang sangat subjektif. Dalam buku mereka, seperti “Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069” (1991) dan “The Fourth Turning: An American Prophecy” (1997), mereka menyajikan gagasan bahwa sejarah bergerak dalam pola siklus yang berulang setiap 80–100 tahun, terbagi menjadi empat fase atau “turning.”
Generasi Z (1999-2012), ini disebut era Reformasi, setelah penggulingan kekuasaan Orde Baru. Era ini ditandai dengan kebebasan berpendapat dan pers. Partai baru bermunculan dan berjumlah sampai puluhan. Media massa mulai dari cetak, radio, dan terutama stasiun televisi bermunculan. Setiap orang diberikan ruang untuk mengkritisi pemerintah. Banyak undang-undang atau peraturan pemerintah yang bersifat otoriter di rubah menjadi lebih demokratis. Generasi yang lahir pada era ini disebut juga Generas, generasi bersih atau generasi internet (Shahreza, 2017).
Generasi Z, lahir di era digital, sangat familiar dengan berbagai platform komunikasi dan memiliki akses yang mudah ke informasi. Hal ini memungkinkan mereka untuk terpapar banyak ideologi, teori, dan wacana dari seluruh dunia. Mereka tumbuh di lingkungan yang penuh dengan isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan krisis ekonomi, yang merangsang minat mereka pada topik-topik yang bersifat teoritis dan konseptual.
Di era modern, teori ilmiah atau pemikiran besar dilandaskan pada metodologi yang terstruktur, bukti empiris, dan validasi berulang oleh para ahli. Namun, perkembangan budaya pasca-kebenaran (post-truth) yang erat kaitannya dengan postmodernisme telah mengguncang pondasi tersebut. Generasi Z, dengan kecenderungan kuat terhadap subjektivitas dan individualisme, berperan penting dalam memunculkan dinamika baru di mana opini personal sering kali dianggap setara atau bahkan lebih unggul dibandingkan pandangan yang berbasis keilmuan. Fenomena ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan gagasan dalam buku “The Death of Expertise” (Matinya Kepakaran) karya Tom Nichols, yang mengkritik hilangnya penghormatan terhadap otoritas dan ilmu pengetahuan.
Postmodernisme, sebagai gerakan intelektual, menolak narasi besar (grand narratives) dan mengedepankan fragmentasi, pluralitas, serta relativitas kebenaran. Dalam konteks ini, Generasi Z yang tumbuh di era digital memiliki akses tanpa batas terhadap informasi. Sebuah ide yang seharusnya diuji secara kritis dan ilmiah kehilangan akarnya dalam kebenaran objektif, digantikan oleh popularitas atau daya tarik emosional. Generasi Z, dengan budaya berbagi pengalaman personal, memposisikan pengalaman mereka sebagai fakta, tanpa menyadari bahwa pengalaman individu tidak selalu universal.
Media sosial adalah ruang di mana Generasi Z paling banyak menyuarakan pendapat mereka. Platform seperti TikTok, Twitter, dan Instagram mempermudah penyebaran ide-ide baru tanpa penyaringan. Sebuah opini yang viral dapat dianggap lebih “valid” daripada penelitian bertahun-tahun. Contohnya, isu kesehatan, sains, atau psikologi sering kali dibahas dengan pendekatan subjektif oleh pengguna tanpa keahlian, tetapi justru lebih dipercaya oleh audiens karena penyampaiannya yang relatable. Ini bisa memunculkan kesan bahwa mereka adalah “tukang teori,” karena sering kali diskusi-diskusi mereka melahirkan pendapat baru yang dianggap sebuah teori. Generasi ini menggunakan media sosial untuk menyampaikan opini, menyebarkan kesadaran, dan mendukung gerakan-gerakan tertentu. Namun, media sosial juga membuat gerakan atau pernyataan mereka tampak lebih sebagai wacana teoretis daripada aksi nyata.
Tom Nichols dalam “The Death of Expertise” menyoroti bagaimana internet dan media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang setara dalam pengetahuan. Fenomena ini adalah konsekuensi dari akses informasi yang melimpah, di mana keahlian menjadi seolah tidak relevan. Nichols menyatakan bahwa masyarakat kini lebih menghargai opini pribadi daripada pendapat para ahli, terutama jika opini tersebut lebih sejalan dengan bias mereka.
Meskipun sering dilabeli “tukang teori,” banyak dari Generasi Z yang sebenarnya terlibat dalam aksi nyata, seperti menjadi sukarelawan, mengikuti gerakan protes, atau melakukan inisiatif lingkungan di sekolah atau komunitas mereka. Label “tukang teori” mungkin muncul dari persepsi bahwa Generasi Z memilih cara intelektual untuk mendekati masalah daripada langsung bertindak. Namun, hal ini bisa dipahami sebagai cara mereka mengekspresikan diri dan mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam. Generasi ini cenderung berpikir kritis dan ingin memastikan bahwa mereka benar-benar memahami sebuah isu sebelum terlibat lebih jauh. Ini juga mungkin disebabkan oleh pengalaman mereka di masa muda yang sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan sosial yang kompleks.
Label “tukang teori” yang disematkan pada Generasi Z sebenarnya adalah stereotip yang hanya mencerminkan sebagian kecil dari gambaran keseluruhan. Meskipun mereka cenderung vokal dan banyak berdiskusi di ranah teori, banyak dari mereka yang juga terlibat dalam aksi nyata. Generasi Z adalah generasi yang kritis, peka, dan sangat peduli dengan isu-isu global. Walaupun aksi mereka mungkin tidak selalu terlihat dalam skala besar, mereka tetap berusaha melakukan perubahan dalam kapasitas mereka masing-masing.
Ketidakmurnian teori hari ini menuntut pendekatan baru untuk mengembalikan validitas ilmu pengetahuan tanpa mengabaikan realitas budaya Generasi Z. Cara pandang subjektif dan individualisme mereka perlu dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif, tetapi tidak mengorbankan integritas akademis.
Sebagai masyarakat, kita perlu merangkul teknologi digital dengan cara yang kritis, sambil tetap menghormati hierarki pengetahuan. Teori yang benar-benar murni lahir bukan hanya dari ide yang menarik perhatian, tetapi juga dari pengujian yang ketat, diskusi yang mendalam, dan penerimaan terhadap fakta yang objektif. Hanya dengan demikian, kita dapat mencegah matinya kepakaran menjadi akhir dari pencarian kebenaran oleh generasi Z.
Leave a Reply