Kekeluargaan Tak Butuh Diinaugurasikan?

Kekeluargaan Tak Butuh Diinaugurasikan?

Masuknya mahasiswa baru di kampus seringkali dilengkapi dengan diadakannya ritus-ritus sakral yang secara turun-temurun telah diwariskan oleh para senior pendahulu-pendahulu kampus. Salah satu ritus tersebut ialah inaugurasi yang diadakan sebagai bentuk acara penyambutan angkatan baru untuk masuk menjadi keluarga besar dalam suatu jurusan atau program studi. Biasanya butuh waktu persiapan selama setahun hingga acara tersebut dapat terlaksana. Dalam jangka waktu tersebut, mahasiswa baru yang angkatannya ingin diakui agar termasuk menjadi bagian dari keluarga besar akan melalui berbagai proses. Mulai dari pembentukan panitia inaugurasi, penggalangan dana, hingga menyisihkan waktu untuk fokus dalam pelatihan untuk pertunjukan yang akan ditampilkan saat inaugurasi nanti.  

     Namun dibalik inaugurasi yang telah dilaksanakan secara kultural itupun juga bahkan tak luput dari kerancuan. Pertama ialah terkait masa persiapan inaugurasi hingga setahun atau bahkan lebih merupakan jangka waktu yang tak terbilang singkat. Selama masa tersebut para mahasiswa baru tentu berpotensi teralih fokus dari akademiknya karena harus latihan pertunjukan untuk penampilan inaugurasinya. Ketika mereka kuliah hingga sore kemudian harus lanjut untuk latihan inaugurasi hingga malam tentu akan membuat energi habis dan lelah. Atas hal tersebut, tugas yang diberikan saat kuliah seringkali terabaikan karena tiadanya waktu luang yang tersisa. Belum lagi jika mereka harus melakukan penggalangan dana, tentu itu akan menyita waktu luang yang dimiliki. Padahal waktu luang selepas kuliah tersebut mungkin akan jauh lebih bermanfaat dan menunjang jika digunakan untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan tambahan untuk mengembangkan pengetahuan dan skill yang pastinya relevan dan dapat menunjang perkuliahan.

     Hal kedua yang tak kalah rancunya ialah dana yang dipersiapkan untuk melaksanakan inaugurasi biasanya mencapai puluhan juta. Dana yang tak terhitung sedikit itu tentu akan terkesan rancu apabila digunakan sekedar untuk hal seremonial dan habis dalam semalam. Belum lagi ketika dalam proses pengumpulan dana agar mencapai jumlah besar yang ditentukan itu didalamnya terdapat unsur keterpaksaan. Sebuah rasa keterpaksaan yang timbul karena kekhawatiran akan sanksi sosial berupa peng-eksklusi-an sebagai konsekuensi atas ketakterlibatan pengumpulan dana. Hal tersebut tentu akan menambah persoalan baru bagi mereka yang terkendala dalam hal ekonomi. Padahal inaugurasi harusnya merupakan gerbang pertama dalam membangun hubungan kekeluargaan antar generasi satu sama lain dan antar generasi dengan pendahulunya. Namun kondisi sebagaimana diatas tersebut, secara tak langsung justru menambah sekat kelas antar mahasiswa. Mereka dengan modal ekonomi yang baik dan lebih tentu akan dengan santai memberikan dananya. Namun bagi mereka yang terkendala ekonomi tentu akan diperhadapkan pada persoalan baru. Apakah ia akan turun melakukan penjualan agar tetap dapat berkontribusi dalam penggalangan dana, meskipun konsekuensinya adalah waktu luang yang dapat digunakan untuk belajar atau mengerjakan tugas kuliah mungkin akan tersita. Ataukah bagi mereka yang memang telah bekerja secara mandiri untuk biaya kuliahnya, dapat menyisihkan sedikit dananya yang mungkin harusnya digunakan untuk biaya kuliah agar juga dapat berkontribusi dalam penggalangan dana inaugurasi. 

     Atas pilihan dilematis yang dihadapi oleh mereka yang terkendala dalam hal ekonomi tersebut, harusnya dapat menjadi pantikan bagi mereka yang mengaku aktivis untuk melakukan langkah preventif. Karena akan terkesan aneh jika mereka yang mengaku aktivis malah acuh atau bahkan menjadi tokoh yang justru terlibat dalam menambah beban serta persoalan yang ada. Apalagi terhadap mereka yang seringkali dengan lantangnya melakukan kritikan kepada kampus atas kenaikan biaya ukt dengan dalih untuk membantu meringankan mereka yang terkendala ekonomi, tentu harusnya akan menjadi tanggung jawab ekstra.

    Kerancuan yang ditimbulkan atas pelaksanaan inaugurasi yang ketiga ialah bagaimana itu dapat melahirkan sebuah kompetisi hedonis antar angkatan atau jurusan kampus. Dana dengan jumlah yang tak main-main itu tentu mendorong persaingan akan kemeriahan atau kemewahan dalam pelaksanaan inaugurasi. Aneh dan rancunya ialah ketika mahasiswa yang seringkali menolak budaya hedon dari pejabat publik namun justru menjadi pelaku itu sendiri. Mereka yang senantiasa mengkritisi tunjangan dan biaya keperluan yang diberikan pada pejabat publik yang seharusnya lebih dimaksimalkan untuk bantuan rakyat, justru menjadi pelaku hedon yang menghambur-hamburkan uang pada hal yang mungkin kurang substansial jika dibandingkan dengan mengalihkan dana yang besar itu untuk membuat kegiatan yang dapat mengembangkan skill dan pengetahuan yang relevan dengan perkuliahan ataukah membantu mereka yang kesulitan dengan biaya kuliahnya. Fenomena hedon diatas tentu sangat bertentangan dengan inaugurasi jika memang diadakan sekedar untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Karena pada akhirnya fenomena hedon yang kompetetif diatas memperlihatkan pada kita bagaimana kekeluargaan menjadi narasi yang dikapitalisasikan sekedar untuk memasarkan inaugurasi agar terlaksana.

     Disamping beberapa kerancuan inaugurasi yang telah dipaparkan diatas, akan kita temukan suatu hal yang tak kalah rancunya jika kita merefleksikan kembali tujuan daripada diadakannya inaugurasi ini. Di awal telah dikemukakan bahwa inaugurasi diadakan tak lain ialah sebagai penyambutan suatu angkatan mahasiswa baru agar dapat diakui termasuk menjadi bagian dari keluarga besar di suatu jurusan atau program studi. Namun, ketika itu benar-benar menjadi tujuannya, maka tanpa sadar terkonstruk semacam kultur validasi sosial yang elitis. Apa yang dimaksudkan sebetulnya ialah bahwa secara tidak langsung kita telah membentuk mindset kebergantungan pada generasi, bahwa ia memerlukan pengakuan dari orang lain terlebih dahulu untuk dapat merasa berharga dan menerima identitasnya. Hal tersebut tentu akan berpotensi menghilangkan kemandirian generasi. Apalagi ketika tindakan tertentu seperti inaugurasi telah dipilihkan dan dijadikan sebagai suatu keharusan bagi mereka untuk dijalankan agar mendapatkan validasi. Upaya elitis yang terkesan mendikte tersebut konsekuensinya akan mendegradasikan kemampuan generasi dalam berinovasi. 

     Berbagai hal yang telah dipaparkan diatas  merupakan suatu upaya yang dibangun untuk memantik ide pengembangan dari salah satu kegiatan sakral yang telah terlaksana secara kultural di kalangan mahasiswa yakni inaugurasi. Narasi dalam bentuk kontra antitesa diatas diharapkan dapat menjadi warna baru dalam menambah percakapan dialektik. Karena suatu hal yang membagongkan dari suatu hal ketika hanya narasi pro mendukung yang diizinkan untuk bertebaran. Karena hal tentu dapat dianggap sebagai upaya untuk mematikan dialektik dan kebebasan berpendapat dalam arena demokrasi. Sebagai akhir dari tulisan ini dari berbagai pemaparan akan kerancuan dari inaugurasi diatas terpantik suatu pertanyaan. Bahwa apakah suatu upaya untuk membangun, menjalin, dan mempertahankan hubungan kekeluargaan itu harus mendapatkan legitimasi atau pengakuan seperti melalui kegiatan inaugurasi? Apakah inaugurasi merupakan satu-satunya cara yang ajan relevan sepanjang zaman untuk membangun kekeluargaan? Ataukah bahkan kekeluargaan yang sesungguhnya justru tak butuh diinaugurasikan?

sang indies:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*