Studi Kasus terhadap SE 3652 sebagai Kebijakan Penuh Kontra Birokrasi UIN Alauddin Makassar: Analisis Kritis Paulo Freire.

Studi Kasus terhadap SE 3652 sebagai Kebijakan Penuh Kontra Birokrasi UIN Alauddin Makassar: Analisis Kritis Paulo Freire.

Pada tanggal 1 Oktober 2024 lalu, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar mengeluarkan Surat Edaran (SE) 3652 yang merupakan pembaharuan dari SE 2591. Diterbitkannya SE 2591 pada tiga bulan sebelumnya telah menuai kontra dari segenap mahasiswa UIN Alauddin Makassar atas adanya indikasi pembatasan dalam berpendapat. Upaya untuk menyelamatkan demokrasi tersebut sangat disayangkan belum berhasil dalam menuai perhatian rektor yang sepatutnya cukup bijaksana dalam menyelesaikan problematika tersebut. Alih-alih mencabut aturan tersebut, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh birokrasi ialah penerbitan SE 3652 dengan dalih sebagai bentuk penyempurnaan administratif dari SE 2591. Sama halnya dengan surat edaran sebelumnya, terdapat beberapa ketentuan yang secara signifikan membatasi kebebasan individu dan penyampaian aspirasi mahasiswa. Salah satu muatan utama dari SE ini yang menuai kontra adalah kewajiban bagi mahasiswa untuk meminta dan mengantongi izin untuk menyampaikan aspirasi.

Adanya ketentuan tersebut bukan hanya membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa, akan tetapi juga akan menciptakan kondisi dimana mahasiswa diobjektifikasi dalam dunia pendidikan tinggi. Hal tersebut apabila ditelisik melalui analisis kritis Paulo Freire, dapat diperoleh pemahaman mengenai bagaimana regulasi penyampaian aspirasi baik di dalam maupun di luar kampus justru merupakan bentuk pelanggaran atas peran pendidikan yang seharusnya membebaskan seorang individu. Fraire dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed mengemukakan bahwa pendidikan seharusnya menjadi aktivitas dalam membebaskan seorang individu dari segala bentuk penindasan, bukan menjadi upaya dalam mendomestifikasi individu sehingga dirinya tidak sadar akan hak dan kemampuannya dalam mengubah keadaan. Dalam kasus ini, pihak kampus melalui diterbitkannya SE 3652 agaknya menjadi bentuk domestifikasi terhadap mahasiswa, menjauhkannya dari apa yang seharusnya menjadi bagian dari mahasiswa, yakni aktivitas menyuarakan pendapat yang juga tentunya menjadi salah satu bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Dengan adanya surat edaran tersebut, mahasiswa hanya dipandang semata-mata hanyalah sebuah objek. Ketika mahasiswa di objektifikasi, artinya mereka hanyalah sebuah entitas yang tidak memiliki suara atau agensi. Anehnya, kalaupun terdapat dalih bahwa SE 3652 bertujuan untuk menjaga wadah bagi mahasiswa dalam mengabdi dan berpendapat, adanya ketentuan bahwa mahasiswa perlu mengantongi izin sebelum menyampaikan aspirasinya pada akhirnya merupakan upaya konstruk doktrinal birokrasi, bahwa pendapat yang akan diutarakan wajib sejalan dengan kepentingan birokrat.

Dalam memandang pendidikan yang berupaya mengobjektifikasi seorang individu, Fraire mengonseptualisasikannya sebagai the banking concept, dimana peserta didik hanya dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi oleh institusi pendidikan. Padahal seharusnya, peran penting institusi pendidikan tidak lain adalah dalam menyadarkan peserta didik akan potensi dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Pendidikan seharusnya menjadi pemantik bagi peserta didik untuk membangkitkan agensinya, menyadarkannya bahwa mereka juga memiliki kapasitas dalam memecahkan suatu persoalan, bukan malah membuatnya bergantung pada pihak yang lebih berkuasa dan menerima keadaan yang terjadi sebagai sebuah takdir yang tidak bisa diubah. Bagi Fraire, kebebasan individu yang berupaya diwujudkan oleh pendidikan bukan hanya merujuk pada kebebasan dalam berpikir atas apa yang terjadi, akan tetapi juga kebebasan dalam mengubah kondisi yang terjadi. Dengan adanya SE 3652, terdapat hambatan bagi mahasiswa sebagai peserta didik dalam mengaktualisasikan kemampuannya, khususnya dalam melakukan transformasi atas pesoalan yang terjadi ditengah masyarakat, yang mana salah satu langkah transformasi yang dapat ditempuh ialah dengan menyampaikan aspirasi.

Salah satu keunikan pada persoalan diatas ialah bahwa kampus yang merupakan sarang para tokoh dengan gelar pendidikan yang tinggi seperti profesor, yang sepatutnya paham betul akan demokrasi justru mempertontonkan kedunguan. Sebuah atraksi lucu yang menafikan das sollen akan identitas kampus sebagai institusi pendidikan yang seharusnya mampu membudayakan kebebasan khususnya dalam hal berpendapat. Lebih jauh, mekanisme dalam proses perumusan surat edaran tersebut juga sama sekali tak mengundang kehadiran dialektika yang fair. Tidak ada kesempatan bagi mahasiswa dalam menyampaikan pendapatnya terlebih dahulu sebelum diterbitkannya kebijakan tersebut. Padahal semestinya, birokrasi seharusnya mampu mengedepankan proses dialogis dalam perumusan SE 3652, sebab pihak yang akan terkena imbas dari keputusan tersebut adalah mahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa seyogianya di pandang sebagai subjek aktif yang berpartisipasi dalam perumusan surat edaran tersebut. Perumusan SE 3652 yang dilakukan secara sepihak oleh birokrasi akhirnya menciptakan kesan bahwa mahasiswa di paksa tunduk pada prosedur birokratik dan merendahkan posisi mahasiswa sebagai masyarakat kampus.

Kontrol birokratik yang sangat ketat jelas nampak dalam SE 3652 dengan menetapkan prosedur yang berbelit belit. Ketentuan dalam SE 3652 bahwa mahasiswa harus mengantongi izin dari birokrasi sebelum menyampaikan aspirasi tentunya menimbulkan hambatan dalam proses penyampaian kebebasan berpendapat di muka umum. Dengan memandang posisinya sebagai pihak yang berkuasa, penerbitan SE 3692 menjadi bukti kampus senantiasa mempertahankan status quo ketimbang mengevaluasi kebijakan yang diambil berdasarkan respons mahasiswa atas surat edaran sebelumnya. Kebijakan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip bahwa pendidikan seharusnya membebaskan bukan malah menindas. Selain membebaskan, Freire juga turut mengatakan bahwa pendidikan juga seharusnya bersifat problem-posing, yang berarti bahwa peserta didik perlu dididik untuk mampu mengidentifikasi masalah di lingkungan sekitarnya, serta mampu menghadirkan solusi yang diharapkan dapat mengentaskan masalah tersebut. Dengan melihat SE 3652, kebijakan tersebut semakin memperjelas bahwa peraturan ini tidak hanya membatasi kebebasan berpendapat mahasiswa, akan tetapi juga menempatkan mereka bukan sebagai subjek yang memiliki kapabilitas dalam mengidentifikasi serta mengambil langkah konkret atas masalah yang terjadi. Adanya ketentuan izin dari birokrasi justru mengabaikan potensi mahasiswa sebagai agen perubahan. Kebijakan yang ideal sudah semestinya menciptakan ruang partisipasi aktif bagi mahasiswa, bukan malah mengekang suara individu dengan aturan yang sangat ruwet dan terstruktur melalui alat birokrasi kampus agar senantiasa bisa menjadi kontrol kekuasaan.

Menjemput momentum Indonesia emas 2045 yang sering kali dikumandangkan hanya akan menjadi mimpi buruk untuk rakyat Indonesia. Ketika institusi pendidikan hanya melahirkan intelektual tradisional konservatif yang akan melanjutkan budaya penindasan. Nampaknya, kampus yang berisi tokoh dengan gelar pendidikan yang tinggi masih perlu memperluas bacaannya, terkhusus dalam menelaah konsep pendidikan seperti yang diutarakan oleh Fraire. Birokrasi kampus UIN Alauddin Makassar juga perlu banyak belajar mengenai konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan Indonesia yang selalu menekankan bahwa pendidikan itu harus melahirkan manusia yang merdeka secara lahir maupun secara bantin. Artinya, kemerdekaan dalam pendidikan itu sangat penting untuk mengembangkan cara pandang mahasiswa agar menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Salah satu poin dalam asas pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yakni tut wuri handayani menjadi poin penting yang dapat dijadikan rujukan dalam mengevaluasi SE 3652. Selain perlu memberikan contoh serta menyemangati peserta didik, institusi pendidikan juga perlu untuk mengambil peran sebagai pendorong bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan potensinya. Alih-alih mendorong mahasiswa untuk menyampaikan pendapat, diterbitkannya surat edaran tersebut justru menarik mahasiswa dari tanggung jawabnya sebagai individu yang terdidik dalam menyuarakan kebenaran.

sang indies:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*